TDC- Jelang PON XXI 2024 yang mendapuk Sumut dan Aceh sebagai tuan rumah bersama, isu tak sedap justru menerpa Pengurus Daerah Persatuan Lawan Tenis Indonesia (Pengda Pelti) Sumatera Utara. Ironisnya, kabar mengenai isu pungutan liar (pungli), itu merebak di tengah penjaringan atlet.
Pecinta Olahraga Tenis bersama atlet tenis berfoto bersama usai mengikuti latihan rutin dilapangan Indoor Polda Sumut, Jalan Kebun Bunga Kota Medan, Sabtu (12/3/2022). |
Desas desus itu semakin santer saat para pecinta olahraga tenis lapangan dan beberapa atlet berkumpul di lapangan tenis in door Polda Sumut, di Jalan Kebun Bunga, Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Petisah, Sabtu (12/3/2022) kemarin.
Dari pertemuan itu mereka membahas soal kepengurusan daerah Pelti Sumatera Utara 2022 yang amburadul dan tidak berpihak kepada nasib para atlet dan diduga mencari makan di olahraga lewat pengutipan sejumlah uang yang dilakukan oleh pengurus Pengda Pelti saat akan membuka seleksi PON XXI Sumut-Aceh yang akan bergulir pada tahun 2024 mendatang.
Bukan itu saja, seleksi atlet juga terkesan main-main dan tidak ada keterbukaan serta pemilihan atlet terendus sarat nepotisme.
"PON ini ajang bergengsi dan bukan main-main, artinya pelatih juga harus melakukan seleksi yang benar, sehingga Sumatera Utara yang menjadi tuan rumah dalam ajang PON XXI pada tahun 2024 mendatang bisa mendapatkan hasil yang puas dan meraih mendali," ujar Firmansyah, mantan atlet tenis yang pernah mengikuti PON di tahun 1985.
Firman juga menuding, proses seleksi atlet yang dilakukan Pengda Pelti dari tahun 2010 sampai saat ini amburadul. Indikasi itu semakin membeberkan bahwa baru-baru ini ada seleksi pemain, namun pemain yang tidak berpotensi yang dipilih dan dimasukkan kedalam daftar pilih.
"Nah ini kan tidak benar, apalagi saya dengan setiap atlet yang ikut seleksi malah bayar, sebesar Rp 350 ribu, apakah ini yang namanya olahraga,?, padahal harusnya atletnya yang digaji, bukan malah atlet pula yang bayar," sesalnya.
Atlet Tenis Sumut |
Lebih jauh pria berusia 55 tahun ini juga mengaku tak habis pikir konsep yang diterapkan Pengda Pelti Sumut sejauh ini.
"Harusnya kan saling koordinasi antara Pengda dan penyeleksian itu seharusnya berkoordinasi dengan pengurus cabang (Pengcab) Pelti di sejumlah daerah, bukan asal tunjuk, inilah juga terlihat bobroknya pengurus Pengda Pelti Sumut, tidak ada transparansi dan tidak terihat ingin memajukan olahraga tenis," tandasnya.
Firman turut menduga para pengurus Pelti hanya ingin mencari uang saja dari KONI, bukan ingin membesarkan olahraga tenis ini.
"Konsepnya kalau mau maju, pengurus nya harus cinta dengan tenis, dan jangan cari makan di olahraga ini, artinya pengurus yang saat ini harus diganti," tegasnya.
Sementara itu, salah seorang atlet tenis asal Kota Medan, Chairun Abdi Maulana Siahaan mengaku kecewa dengan pengurus dan pelatih yang tidak benar-benar ingin membesarkan olahraga tenis. Ditambah lagi saat ini ada seorang pelatih yang seharusnya menjadi tauladan bagi semua atlet tenis, malah tidak menunjukan seorang pengajar yang profesional.
"Jadi pada tahun 2019 kemarin, kita ikuti Pra Pon di Jakabaring Palembang, yang PON nya di Jawa Barat. Jadi kita berangkat bersama Habibi, dan Koko sementara Yazid tidak ikut karena keterbatasan biaya, karena saat itu untuk berangkat pun kita pakai dana pribadi, dan dana yang seharusnya untuk ongkos dan biaya untuk kebutuhan kita disana dilarikan oleh pelatih kita, itu berkisar puluhan juta dibawa nya lari, hanya tersisa tiket pesawat saja yang ada sama kami saat itu, ini KTP nya masih saya sita," cetusnya sambil menunjukkan identitas si pelatih.
"Tapi hal itu tidak menyurutkan kami untuk berjuang membawa nama baik Sumatera Utara, meski dengan biaya sendiri, kami akhirnya sampai di Jakabaring, Palembang bersama Habibi dan Koko. Kami berprinsip harus menang dan kami akan buat bangga Sumatera Utara, bersyukur kita masuk final group saat itu, kita harus kerja keras untuk berjuang dengan saling support dan merangkap dengan saling bergantian berlaga dilapangan, kemudian di hari ke 7 kita kalah dan akhirnya tidak lolos PON," kata Firman dengan mimik kesal.
Setelah kegiatan di Jakabaring selesai, setelah tiba di Medan, Firman pun menjelaskan bahwa kisah pahit itu, lalu mereka ceritakan kepada pengurus Pengda Pelti Sumut. Tapi para pengurus malah menyarankan agar tidak mempidanakan si pelatih ini.
"Ya sudah kami pun ikutin kata-kata para pengurus karena memikirkan kebaikan untuk tenis kedepannya. Tapi setelah itu berlalu, saat inikan ada buka seleksi pemilihan atlet untuk PON XXI yang menjadi tuan rumah kita sendiri Sumut dan Aceh, tapi anehnya, untuk mengikuti seleksi itu kita harus bayar Rp350 ribu, kan ini aneh,?" kecamnya.
Pria kelahiran tahun 1995 ini juga menuding amburadulnya proses seleksi atlet. Karena faktanya, ada atlet yang seharusnya belum pantas masuk seleksi dengan nomor urut 3 bisa terpilih. Sedangkan yang berada di nomor 2 malah tidak lolos seleksi.
"Inikan artinya seleksi untuk PON itu tidak transparan. Dan kenapa ada pembatasan umur? Padahal Habibi adalah atlet yang berpotensi untuk mengharumkan nama Sumatera Utara, tapi saya heran kenapa Habib tidak diperbolehkan ikut seleksi dengan alasan umur," katanya heran.
Ia juga menilai bahwa para pengurus terlihat seperti tidak memikirkan masa depan atlet. Salah satu contohnya terkait Pelatda atlet yang dikenakan biaya yang terindikasi pungli.
"Saya ada foto-fotonya saat kawan kawan mengumpulkan uang itu untuk biaya seleksi pelatda. Bagaimana olahraga tenis kita ini mau baik dan berkualitas, sementara pengurus Pengda nya aja seperti ini. Lebih baik kalau tidak bisa mengurus ya audah serahkan saja kepada orang-orang yang cinta dengan tenis ini, agar kedepannya olahraga tenis ini bisa lebih cemerlang dan mengharumkan nama Sumatera Utara terkhusus untuk menjadi juara dan meraih mendali di PON XXI mendatang" tutupnya sambil memperhatikan foto-foto pengutipan uang.