TDC-Praktisi hukum asal Provinsi Sumatera Utara (Sumut), Roni Prima Panggabean menyoal kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Menurut Roni, kebijakan itu sangat kontroversial di tengah terepuruknya ekonomi masyarakat belakangan ini.
"Mau dibawa kemana Tapera. Apakah sudah sesuai dengan namanya 'Tabungan Perumahan Rakyat'? Atau hanya omong-omong?," ujar Roni dengan nada tanya, Senin, 10 Juni 2024.
Apalagi, lanjut dijelaskan Roni, kebijakan yang kontroversial terhadap masyarakat Bernama Tapera itu ujungnya menyasar hingga ke urat nadi.
"Masyarakat baik itu karyawan swasta hingga pekerja mandiri penghasilannya dipotong 2,5 sampai 3 persen setiap bulannya. Pada 2021 silam, sebenarnya pemerintah telah menerapkan iuran wajib terhadap PNS/ASN. Namun belakangan, ini akan diberlakukan terhadap pekerja swasta bahkan pekerja mandiri yang tidak berpenghasilan tetap. Itulah yang sangat disayangkan," jelas Roni.
Ditegaskan Roni, jika pemerintah tetap memaksakan, hal ini akan sangat mempengaruhi iklim perekonomian dan investasi yang tentunya membebankan sektor swasta dan pekerja mandiri.
"Hal ini disebabkan bahwa peserta Tapera yang sudah berjalan pun tidak memiliki kepastian untuk memperoleh program tabungan perumahan rakyat. Emank rumahnya di mana ? Lahannya di mana juga ? Kenapa dibebankan kepada masyarakat ?," tegas pengacara muda yang konsen terhadap perbaikan kebijakan publik itu.
Lantas, kata Roni, bagaimana dengan sektor swasta dan pekerja mandiri yang bahkan Upah Minimum Regional (UMR) saja tidak terpenuhi.
"Konon lagi ditambah dan dibebankan lagi dengan Tapera," katanya.
Memang, ungkapnya, BP Tapera dalam pengelolaannya telah memberikan dukungan Fasilitas Likuiditas Pembangunan Perumahan (FLPP) bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk pembiayaan perumahan.
"Namun, bedasarkan infobanknews.com, perlu diketahui juga pada 4 Juni 2024 BPK telah merilis bahwa sebanyak 124.960 peserta Tapera belum menerima pengelolaan pengembalian dana sebesar Rp567,45 miliar dan peserta pensiun ganda 40.266 orang sebesar Rp130,25 miliar. Yang mau saya sampaikan di sini, untuk memperoleh pengembalian uang yang ditabung saja sebagai peserta tidak semudah menyetorkan kewajibannya. Padahal ini sudah menjadi hak mutlak peserta Tapera," ungkap Roni.
Menurutnya, pengelolaan keuangan yang dikelola pemerintah saat ini sebenarnya sudah sangat sulit untuk dipercaya, ada beberapa poin kritis dan fakta hukum yang telah terjadi ibarat pisau sudah di ujung leher, yaitu :
1. Kasus Mega Korupsi di tubuh PT TASPEN, dalam hal ini menyeret dirut PT Taspen telah ditetapkan tersangka oleh KPK dan nilai investasi yang ditelisik KPK mencapai 1 triliun dan dugaan potensi kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah.
2. Mega skandal korupsi PT Jiwasraya dalam hal ini hakim telah menyatakan menimbulkan kerugian negara mencapai 16 triliun dan asset telah disita oleh kejaksaan agung.
3. Kasus ASABRI bahwa salah satu pelakunya sama dengan kasus PT Jiwasraya yang dugaan korupsi mencapai 22 triliun yang pada akhinrya divonis nihil
4. DAPEN BUMN, Erick Thohir sebagai menteri BUMN telah menyebut, ada total 48 Dapen perusahaan pelat merah, sebanyak 34 Dapen atau 70 persn dalam kondisi sakit yang memiliki dugaan potensi kerugian negara mencapai 300 miliar.
"Dari peristiwa yang kita lihat secara terang benderang artinya pengelolaan keuangan negara perlu dievaluasi kembali! Kenapa pemerintah tidak mengmbil langkah solutif yaitu segera recovery asset akibat tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara," imbuhnya.
Apalagi, kata Roni, belakangan ini mega korupsi di PT Timah yang sudah diumumkan kejaksaan agung yaitu dugaan kerugian negara ternyata mencapai 300 triliun.
Karenanya, Roni Panggabean sebagai advokat & Co.Founder Roni Prima & Partners yang berkantor di Jakarta selatan, menyampaikan bahwa jika memang program tapera tersebut untuk menyejahterakan rakyat ada langkah alternatif dan solutif untuk yang harus dilakukan pemerintah :
Pertama, segera lakukan 'Recovery Asset', untuk asset yang belum disita negara, segera sita dan lakukan pemulihan, hasilnya dapat disetor ke kas negara.
Kedua, perkuat lembaga penegakkan hukum : kepolisian, kejaksaan, KPK & kehakiman untuk melakukan percepatan pengembalian kerugian negara tentunya bersinergi dengan kementerian keuangan dan dikomandoi oleh Menkopolhulkam.
Ketiga, pemerintah perlu menggandeng pihak swasta seperti : akuntan publik, firma hukum, dan sektor swasta lainnya yang berkaitan untuk mempercepat realisasi pemulihan keuangan negara.
"Hal ini dapat dijangkau dengan waktu yang lebih cepat dan terukur dengan adanya eskalasi recovery asset dibandingkan membebankan masyarakat melalui kebijakan Tapera yang saat ini belum tepat untuk diimplementasikan karena tidak ada kepastian bagi peserta tapera itu sendiri sementara masih banyak institusi yang secara terang benderang melakukan korupsi yang seharusnya negara mampu merampas assetnya dan disetor ke kas negara bahkan dapat mendukung program FLPP dengan tidak menyiksa masyarakat berpenghasilan rendah/MBA dengan iuran wajib 2,5-3 persen," pungkasnya.(TDC/red)***