TDC-Praktisi Hukum dari Pusat Pembaharuan Hukum dan Peradilan (Puspha) Sumatera Utara (Sumut), Muslim Muis menyatakan bahwa pasangan suami istri (Pasutri) terdakwa dalam kasus pabrik ekstasi rumahan, Jalan Kapten Jumhana, Kelurahan Sukaramai II, Kecamatan Medan Area harus dijatuhi hukuman mati.
Adapun para terdakwa dalam kasus ini yakni Hendrik Kosumo (41) dan istrinya Debby Kent (36) yang perannya sebagai pemilik serta pengelola pabrik pil ekstasi rumahan tersebut.
Kemudian Arpen Tua Purba (29), Hilda Dame Ulina Pangaribuan (36) dan M Syahrul Savawi alias Dodi (43).
Menurut Muslim, kasus ini tidak hanya melanggar hukum secara serius, tetapi juga menimbulkan dampak destruktif bagi masyarakat.
“Pabrik ekstasi ini bukan sekadar kasus narkoba biasa. Produksi masifnya menunjukkan niat jahat yang terencana untuk menghancurkan generasi bangsa,” kata Muslim saat dihubungi wartawan di Medan, Selasa 21 Januari 2025.
Ia menambahkan bahwa hukuman mati layak diberikan karena tindakan terdakwa sudah memenuhi unsur kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Dalam pandangan hukum internasional maupun nasional, kejahatan yang berdampak luas terhadap kesehatan dan keamanan masyarakat sering kali diperlakukan dengan hukuman paling berat.
Pabrik ekstasi ini telah beroperasi selama 6 bulan yang dipasarkan ke diskotik-diskotik di Sumut, termasuk di Kota Pematangsiantar sebelum akhirnya digerebek oleh polisi pada Juni 2024 lalu.
Dalam penggerebekan tersebut, polisi menemukan barang bukti berupa alat cetak ekstasi, bahan kimia padat sebanyak 8,96 kg, bahan kimia cair 218,5 liter, mephedrone serbuk 532,92 gram, ekstasi 635 butir, berbagai jenis bahan kimia prekursor, hingga peralatan laboratorium.
Hendrik Kosumo dan istrinya Debby Kent, terdakwa utama, yang merupakan pemilik sekaligus otak di balik kasus ini, kini menghadapi ancaman hukuman mati sesuai dengan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Muslim menekankan pentingnya hukuman berat sebagai bentuk efek jera. “Hukuman mati bukan hanya untuk menghukum pelaku, tetapi juga untuk memberikan pesan tegas kepada jaringan narkotika lainnya bahwa Indonesia tidak main-main dalam memberantas narkoba,” tegasnya.
Selain itu, Muslim juga menyerukan agar pengadilan bekerja secara transparan dan profesional.
“Proses hukum harus berjalan dengan adil. Semua bukti harus diuji dengan cermat agar tidak ada celah bagi terdakwa untuk lolos dari tanggung jawab hukum,” ujarnya.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa kejahatan narkotika terus menjadi ancaman serius bagi Indonesia. Muslim berharap pemerintah dan masyarakat dapat bersinergi untuk memutus mata rantai peredaran narkoba.
“Kita harus tegas. Jika tidak, masa depan generasi muda kita akan terus berada dalam bahaya,” pungkasnya.(TDC/red)***